“Vibe Coding” dan Bahaya di Baliknya.

“Vibe Coding” dan Bahaya di Baliknya: Refleksi dari Video WPU “I HATE VIBE CODING”

“Vibe Coding” dan Bahaya di Baliknya: Refleksi dari Video WPU “I HATE VIBE CODING”

Oleh: Fauzin SobariNusadiga Blog

💡 Apa Itu “Vibe Coding”?

Istilah “vibe coding” sedang ramai dibicarakan di kalangan developer. Secara sederhana, ini adalah praktik menulis kode dengan mengandalkan “feeling” dan bantuan AI (seperti ChatGPT atau Copilot) — seringkali tanpa perencanaan matang atau pemahaman mendalam tentang logika pemrograman.

Fenomena ini menjadi sorotan setelah Sandhika Galih, kreator dari channel Web Programming UNPAS (WPU), mengunggah video berjudul “I HATE VIBE CODING.” Dalam video tersebut, beliau mengungkapkan kekhawatiran terhadap tren penggunaan AI secara berlebihan, terutama di kalangan pemula.

🔍 Inti Pesan dari Video “I HATE VIBE CODING”

Sandhika menyoroti bahwa “vibe coding” dapat menimbulkan ilusi kompetensi. Banyak pemula merasa “jago” membuat aplikasi hanya karena dibantu AI, padahal mereka belum memahami bagaimana kode itu bekerja.

“Seperti orang ke gym memakai sarung tangan Iron Man: kelihatan kuat, tapi sebenarnya tidak membangun otot apa pun.”
  • 🧠 Bahaya bagi Pemula: Mengandalkan AI tanpa memahami dasar logika membuat pemula cepat puas dan kehilangan motivasi belajar konsep fundamental.
  • ⚠️ Risiko Tersembunyi: Kode hasil AI belum tentu efisien, aman, atau bebas bug.
  • 🧾 Tanggung Jawab Tetap di Programmer: Jika terjadi error atau bug, nama programmer-lah yang tercantum — bukan nama AI.
  • ⚙️ AI Adalah Alat, Bukan Joki: AI berguna untuk mempercepat prototyping di tangan profesional, bukan untuk menggantikan proses belajar.
  • 📚 Pesan untuk Pemula: Fokus membangun fondasi dulu. Gunakan AI sebagai teman belajar, bukan jalan pintas.

🧭 Pandangan Saya

Menurut saya, pesan dari video ini sangat relevan di era AI seperti sekarang. Sandhika berhasil menyoroti perbedaan besar antara “menghasilkan hasil” dan “memahami prosesnya”.

1. AI Bukan Pengganti Otak, Tapi Pengganda Kapasitas Otak

Bagi developer berpengalaman, AI adalah asisten yang mempercepat eksperimen. Namun bagi pemula yang belum punya intuisi logika, AI bisa jadi “penipu halus” — memberi solusi tanpa membuat mereka paham.

2. Dunia Kerja Butuh Kemampuan Berpikir, Bukan Sekadar Menyalin

Industri IT menuntut kemampuan memecahkan masalah. Developer yang hanya bisa menyalin hasil AI tanpa tahu alasannya akan mudah tertinggal.

3. Dua Tipe Programmer Baru Akan Lahir

  • AI-Dependent Coder: Cepat tapi dangkal, mudah tergantikan.
  • AI-Empowered Engineer: Paham dasar, pakai AI untuk mempercepat inovasi.

⚖️ Kesimpulan

“Vibe coding” bukanlah hal buruk — selama kamu sudah berhak melakukannya.

“Berhak” di sini berarti kamu menguasai dasar, tahu kapan AI salah, dan mampu bertanggung jawab atas hasilnya. AI bukan shortcut menuju keahlian, tapi amplifier dari pengetahuanmu sendiri.

Jadi sebelum menyerahkan logika ke AI, pastikan kamu sudah melatih otot berpikir logis dulu.

🔗 Penutup

Video “I HATE VIBE CODING” dari Sandhika Galih bukan sekadar kritik terhadap AI, tapi peringatan bagi generasi baru developer agar tidak kehilangan esensi belajar.

Bukan AI yang akan menggantikan programmer, tetapi programmer yang tidak mau belajar dasar lah yang akan tergantikan.

Tag: #AI #Coding #WebProgramming #WPU #BelajarNgoding #NusadigaTech

© 2025 Nusadiga.com | Ditulis oleh Fauzin Sobari

Similar Posts

  • Terjebak Kenyamanan Digital

    Ada sesuatu yang menakutkan dari cara AI berbicara.Bukan karena ia mengancam, tapi karena ia terlalu menenangkan.Bukan karena ia kasar, tapi karena ia selalu terdengar benar — lembut, positif, dan mendukung.Dan justru di situlah bahayanya. Saya tidak anti-AI.Saya menggunakannya setiap hari.Saya tahu betapa hebatnya teknologi ini membantu menulis, mengorganisir, menganalisis, bahkan membangun aplikasi dalam hitungan menit.Tapi…